Banta Berensyah Cerita Rakyat Aceh
Banta Berensyah Cerita Rakyat Aceh
Perkiraan waktu membaca Menit
Edit
Alkisah, di suatu dusun terpencil di daerah Nanggro Aceh Darussalam, hiduplah seseorang janda berbarengan seseorang anak laki-lakinya yang bernama Banta Berensyah. Banta Berensyah seseorang anak yang rajin serta mahir bermain suling. Ke-2 ibu serta anak itu tinggal di suatu gubuk bambu yang beratapkan ilalang serta beralaskan dedaunan kering dengan keadaan nyaris rubuh. Saat hujan turun, air dengan leluasa masuk ke dalamnya. Bangunan gubuk itu betul-betul tak layak huni lagi. Tetapi apa akan di buat, jangankan cost untuk melakukan perbaikan gubuk itu, untuk makan sehari-hari juga mereka kesusahan.
Untuk bertahan hidup, ibu serta anak itu menampi sekam di suatu kincir padi punya saudaranya yang bernama Jakub. Jakub yaitu saudagar kaya di dusun itu. Tetapi, ia populer sangatlah kikir, loba, serta tamak. Semua tindakannya senantiasa diperhitungkan untuk memperoleh keuntungan sendiri. Kadang-kadang ia cuma mengupahi ibu Banta Berensyah dengan segenggam atau dua genggam beras. Beras itu cuma cukup dikonsumsi satu hari oleh janda itu berbarengan anaknya.
“Ibu…! Banta lapar, ” rengek Banta Berensyah.
Janda itu cuma terdiam sembari memandang lembut anaknya. Sesungguhnya, hati kecilnya teriris-iris mendengar rengekan putranya itu. Tetapi, ia tak dapat berbuat apa-apa, lantaran tak ada sekalipun makanan yang tersisa. Cuma ada satu gelas air putih yang ada di samping anaknya. Dengan perlahan-lahan, ia mencapai gelas itu serta mengulurkannya ke mulut Banta Berensyah. Seteguk untuk seteguk Banta Berensyah meminum air dari gelas itu juga sebagai pengganti makanan untuk menyingkirkan rasa laparnya. Sesudah meminum air itu, Banta terasa badannya sedikit memperoleh penambahan tenaga. Dengan penuh kasih sayang, ia memandang muka ibunya. Lantas, perlahan ia bangkit dari tidurnya seraya menyeka air mata bening yang keluar dari kelopak mata ibunya.
“Kenapa ibu menangis? ” bertanya Banta dengan nada pelan.
Mulut wanita paruh baya itu belum dapat berucap apa-apa. Dengan mata berkaca-kaca, ia cuma menghela nafas panjang. Banta juga memandang lebih dalam ke arah mata ibunya. Sesungguhnya, ia tahu argumen mengapa ibunya menangis.
“Bu! Banta tahu kenapa Ibu meneteskan air mata. Ibu menangis lantaran sedih tak beroleh gaji hari ini, ” ungkap Banta.
“Sudahlah, Bu! Banta tahu, Ibu telah berupaya keras mencari nafkah supaya kita dapat makan. Mungkin nasib baik belum berpihak pada kita, ” bujuknya.
Mendengar perkataan Banta Berensyah, wanita paruh baya itu tersentak. Ia tak pernah menduga pada awal mulanya bila anak semata wayangnya, yang sampai kini dia anggap masih tetap kecil itu, nyatanya pikirannya telah cukup dewasa. Dengan perasaan bahagia, ia merangkul badan putranyasambil meneteskan air mata. Perasaan bahagia itu seakan-akan sudah meniadakan semua kepedihan serta kelelahan batin yang sampai kini membebani hidupnya.
“Banta, Anakku! Ibu bangga sekali memiliki anak sepertimu. Ibu sangatlah sayang kepadamu, Anakku, ” ucap Ibu Banta dengan perasaan haru.
Kasih sayang serta perhatian ibunya itu betul-betul berikan semangat baru pada Banta Berensyah. Badannya yang lemas, mendadak kembali bertenaga. Ia lalu memandang muka ibunya yang terlihat pucat. Ia sadar bahwa sekarang ini ibunya pasti tengah lapar. Oleh karenanya, ia meminta izin pada ibunya akan pergi ke rumah pamannya, Jakub, untuk meminta beras. Tetapi, ibunya menghindarnya, lantaran ia sudah mengerti perangai saudaranya yang kikir itu.
“Jangan, Anakku! Tidakkah kamu paham.kamu mengerti sendiri bila pamanmu itu sangatlah perhitungan. Ia pasti akan tidak memberimu beras saat sebelum anda bekerja, ” tutur Ibu Banta.
“Banta tahu, Bu! Namun, apa kelirunya bila kita cobanya dahulu. Mungkin paman bakal terasa iba lihat situasi kita, ” kata Banta Berensyah.
Berulang-kali ibunya menghindarnya, tetapi Banta Berensyah terus bersikeras mau pergi ke rumah pamannya. Pada akhirnya, wanita yang sudah melahirkannya itu juga berikan izin. Jadi berangkatlah Banta Berensyah ke rumah pamannya. Waktu ia masuk ke pekarangan rumah, mendadak terdengar nada keras membentaknya. Nada itu tidak lain yaitu nada pamannya.
“Hai, anak orang miskin! Janganlah mengemis disini! ” hardik saudagar kaya itu.
“Paman, kasihanilah kami! Berikanlah kami segenggam beras, kami lapar! ” iba Banta Berensyah.
“Ah, persetan dengan keadaanmu itu. Kalian lapar atau mati sekalian juga, saya tak peduli! ” saudagar itu kembali menghardiknya dengan kalimat yang lebih kasar lagi.
Begitu kecewa serta sakitnya hati Banta Berensyah. Bukannya beras yang didapat dari pamannya, tetapi cacian serta makian. Ia juga pulang ke tempat tinggalnya dengan rasa sedih serta jengkel. Tidak merasa, air matanya menetes membasahi ke-2 pipinya.
Dalam perjalanan pulang, Banta Berensyah mendengar berita dari seseorang warga bahwa raja di suatu negeri yang letaknya tak berapakah jauh dari dusunnya bakal mengadakan sayembara. Raja negeri itu memiliki seseorang putri yang cantik jelita nan rupawan. Ia seperti bidadari yang mengumpulkan seluruhnya pesona lahir serta batin. Kulitnya sangatlah halus, putih, serta bersih. Karena sangat putihnya, kulit putri itu seakan-akan tembus pandang. Bila ia menelan makanan, seakan-akan makanan itu terlihat melalui ditenggorokannya. Tersebut penyebab ia dinamakan Putri Selalu Mata. Tiap-tiap pemuda yang lihat kecantikannya juga bakal tergelitik hasratnya untuk mempersuntingnya. Telah banyak pangeran yang datang meminangnya, tetapi belum satu juga pinangan yang di terima. Putri Selalu Mata bakal terima lamaran untuk siapapun yang mampu mencarikannya baju yang terbuat dari emas serta suasa.
Mendengar berita itu, Banta Berensyah muncul hasratnya untuk mengandu untung. Ia mengharapkan dengan menikah dengan sang Putri, hidupnya bakal jadi tambah baik. Siapa tahu ia bernasib baik, pikirnya. Ia juga bergegas pulang ke gubuknya untuk menjumpai ibunya. Setibanya di gubuk, ia segera duduk di dekat ibunya. Sembari mendekatkan berwajah yang sedikit pucat lantaran lapar, Banta Berensyah mengemukakan tentang hasratnya ikuti sayembara itu pada ibunya. Ia berupaya membujuk ibunya supaya hasratnya dikabulkan.
“Bu! Banta sangatlah sayang serta mau selalu hidup di samping ibu. Ibu sudah berupaya memberi yang paling baik untuk Banta. Saat ini Banta nyaris beranjak dewasa. Waktunya Banta mesti berusaha keras memberi yang paling baik untuk Ibu. Bila Ibu merestui kemauan tulus ini, izinkanlah Banta merantau untuk merubah nasib hidup kita! ” pinta Banta Berensyah.
Wanita paruh baya itu tidak dapat lagi menyembunyikan kekagumannya pada anak semata wayangnya itu. Ia juga memeluk erat Banta dengan penuh kasih sayang.
“Banta, Anakku! Anda yaitu anak yang berbakti pada orang-tua. Bila itu telah jadi tekadmu, Ibu mengizinkanmu meskipun dengan berat hati mesti berpisah denganmu, ” kata wanita paruh baya itu.
“Tapi, bagaimanakah anda dapat merantau ke negeri lain, Anakku? Apa bekalmu di perjalanan kelak? Jangankan untuk biaya kapal serta bekal, untuk makan sehari-hari juga kita tak mempunyai, ” imbuhnya.
“Ibu tak perlu pikirkan permasalahan itu. Cukup doa serta restu Ibu mengikuti Banta, ” kata Banta Berensyah.
Sesudah memperoleh restu dari ibunya, Banta Berensyah juga pergi ke suatu tempat yang sepi untuk memohon panduan pada Tuhan Yang Mahakuasa. Sesudah semalam jemu berdoa dengan penuh khusyuk, pada akhirnya ia juga memperoleh panduan supaya membawa sehelai daun talas serta suling kepunyaannya ke perantauan. Daun talas itu bakal ia pakai untuk mengarungi laut luas menuju ke tempat yang bakal ditujunya. Sedang suling itu bakal ia pakai untuk menghibur beberapa tukang tenun untuk membayar cost kain emas serta suasa yang dia butuhkan.
Esok harinya, selesai berpamitan pada ibunya, Banta Berensyah juga pergi ke rumah pamannya, Jakub. Ia punya maksud meminta tumpangan di kapal pamannya yang bakal berlayar ke negeri lain. Setibanya disana, ia kembali dibentak oleh pamannya.
“Ada apa lagi anda kemari, hai anak malas! ” seru sang Paman.
“Paman! Bolehkah Ananda turut berlayar hingga ke tengah laut? ” pinta Banta Berensyah.
Jakub tersentak mendengar keinginan aneh dari Banta Berensyah. Ia memikirkan bahwa kemanakannya itu bakal bunuh diri di dalam laut. Dengan suka hati, ia juga mengizinkannya. Ia terasa hidupnya bakal aman bila anak itu sudah mati, lantaran akan tidak lagi datang meminta-minta kepadanya. Pada akhirnya, Banta Berensyah juga turut berlayar berbarengan pamannya. Demikian kapal yang mereka tumpangi tiba di tengah-tengah samudra, Banta meminta pada pamannya supaya menurunkannya dari kapal.
“Paman! Perjalanan Nanda berbarengan Paman cukup hingga disini. Tolong turunkan Nanda dari kapal ini! ” pinta Banta Betensyah.
Saudagar kaya itu juga selekasnya memerintahkan anak buahnya untuk turunkan Banta ke laut. Tetapi saat sebelum di turunkan, Banta keluarkan lipatan daun talas yang diselempitkan dibalik bajunya. Lalu ia buka lipatan daun talas itu seraya duduk bersila di atasnya. Lihat tingkah laku Banta itu, Jakub menertawainya.
“Ha… ha… ha…! Basic anak bodoh! ” hardik saudagar kaya itu.
“Pengawal! Turunkan anak ini dari kapal! Biarlah saja dia mati dikonsumsi ikan besar! ” serunya.
Tetapi, begitu terkejutnya saudagar kaya itu serta beberapa anak buahnya sesudah turunkan Banta Berensyah ke laut. Nyatanya, sehelai daun talas itu dapat menahan badan Banta Berensyah diatas air. Dengan pertolongan angin, daun talas itu membawa Banta menuju ke arah barat, sedang pamannya berlayar menuju ke arah utara.
Sesudah berhari-hari terombang-ambing diatas daun talas dihempas gelombang samudra, Banta Berensyah tiba di suatu pulau. Pertama kalinya menginjakkan kaki di pulau itu, ia terkagum-kagum melihat panorama yang sangatlah indah serta menakjubkan. Nyaris di tiap-tiap halaman rumah masyarakat terbentang kain tenunan dengan beragam motif serta warna tengah dijemur. Rupanya, nyaris semua masyarakat di pulau itu yaitu tukang tenun.
Banta juga singgah ke salah satu rumah masyarakat untuk bertanya kain emas serta suasa yang tengah dicarinya. Tetapi, yang tinggal didalam rumah itu tak mempunyai type kain itu. Ia juga geser ke rumah tukang tenun di sampingnya, serta nyatanya si yang memiliki rumah itu juga tak memilikinya. Berhari-hari ia berkeliling kampung serta masuk rumah masyarakat satu persatu, tetapi kain yang dicarinya belum juga ia dapatkan. Tinggal satu rumah lagi yang belum ia masuki, yakni rumah kepala kampung yang juga tukang tenun.
“Tok… Tok… Tok.. ! Permisi, Tuan! ” seru Banta Berensyah sesudah mengetuk pintu rumah kepala kampung itu.
Sebagian waktu lalu, seseorang laki-laki paruh baya buka pintu serta mempersilahkannya masuk ke rumah.
“Ada yang dapat kubantu, Anak Muda? ” bertanya kampung itu ajukan pertanyaan.
Sesudah mengenalkan diri serta menceritakan asal-usulnya, Banta juga mengemukakan maksud kehadirannya.
“Maaf, Tuan! Kehadiran saya kemari mau mencari kain tenun yang terbuat dari emas serta suasa. Bila Tuan memilikinya, bolehkah saya membelinya? ” pinta Banta Berensyah.
Kepala kampung itu tersentak kaget mendengar keinginan Banta, terlebih sesudah lihat tampilan Banta yang sangatlah simpel itu.
“Hai, Banta! Dengan apa anda dapat membayar kain emas serta suasa itu? Apakah anda memiliki duit yang cukup untuk membayarnya? ”
“Maaf, Tuan! Saya memanglah tak dapat membayarnya dengan duit. Namun, bila Tuan sudi, bolehkah saya membayarnya dengan lagu? ” pinta Banta Berensyah seraya keluarkan sulingnya.
Lihat keteguhan hati Banta Berensyah akan mempunyai kain tenun itu, kepala kampung itu kembali ajukan pertanyaan kepadanya.
“Banta! Bila bisa saya ketahui, mengapa anda sangatlah inginkan kain itu? ”
Banta juga menceritakan argumennya hingga ia mesti berjuang untuk memperoleh kain itu. Lantaran iba mendengar cerita Banta, pada akhirnya kepala kampung itu penuhi permintaannya. Dengan ketrampilannya, Banta juga memainkan sulingnya dengan lagu-lagu yang merdu. Kepala kampung itu betul-betul terbuai nikmati senandung lagu yang dibawakan Banta. Sesudah senang menikmatinya, ia juga memberi kain emas serta suasa kepunyaannya pada Banta.
“Kamu sangatlah mahir bermain suling, Banta! Anda layak memperoleh kain emas serta suasa ini, ” tutur kepala kampung itu.
“Terima kasih, Tuan! Banta sangatlah berhutang budi pada Tuan. Banta bakal senantiasa mengingat seluruhnya kebaikan hati Tuan, ” kata Banta.
Sesudah memperoleh kain emas serta suasa itu, Banta juga meninggalkan pulau itu. Ia berlayar mengarungi lautan luas menuju ke kampung halamannya dengan memakai daun talas saktinya. Hati anak muda itu sangatlah senang. Ia tak sabar lagi mau mengemukakan berita senang itu pada ibunya serta selekasnya menghadirkan kain emas serta suasa itu pada Putri Selalu Mata.
Tetapi, nasib malang menerpa Banta. Saat hingga di dalam laut, ia bersua serta turut dengan kapal Jakub yang barusan pulang berlayar dari negeri lain. Waktu ia ada diatas kapal itu, kain emas serta suasa yang diperolehnya dengan sulit payah dirampas oleh Jakub. Sesudah kainnya dirampas, ia dibuang ke laut. Dengan perasaan bangga, Jakub membawa pulang kain itu untuk mempersunting Putri Selalu Mata.
Disamping itu, Banta yang tenggelam terbawa arus gelombang laut terdampar di suatu pantai serta diketemukan oleh sepasang suami-istri yang tengah mencari kerang. Sepasang suami-istri itu juga membawanya pulang serta mengangkatnya juga sebagai anak. Sesudah sebagian lama tinggal berbarengan ke-2 orangtua angkatnya itu, Banta juga memohon diri untuk kembali pada kampung halamannya menjumpai ibunya dengan memakai daun talas saktinya. Setiba di gubuknya, ia juga disambut oleh ibunya dengan perasaan suka ria. Lalu, Banta juga menceritakan seluruhnya peristiwa yang sudah dirasakannya.
“Maafkan Banta, Bu! Sesungguhnya Banta sudah sukses memperoleh kain emas serta suasa itu, namun Paman Jakub merampasnya, ” Banta bercerita pada ibunya dengan perasaan kecewa.
“Sudahlah, Anakku! Ibu tahu perasaanmu. Mungkin belum nasibmu mempersunting putri raja, ” tutur Ibunya.
“Tapi, Bu! Banta mesti memperoleh kembali kain emas serta suasa itu dari Paman. Kain itu punya Banta, ” kata Banta dengan kemauan keras.
“Semuanya telah terlambat, Anakku! ” sahut ibunya.
“Apa maksud Ibu berkata demikian? ” bertanya Banta penasaran.
“Ketahuilah, Anakku! Pamanmu memanglah sungguh mujur. Sekarang ini, pesta perkawinannya dengan putri raja tengah dilangsungkan di istana, ” ungkap ibunya.
Tanpa ada memikirkan panjang, Banta selekasnya berpamitan pada ibunya lantas bergegas menuju ke tempat pesta itu dikerjakan. Tetapi, setibanya di kerumunan pesta yang berjalan meriah itu, Banta tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tak memiliki bukti untuk tunjukkan pada raja serta sang Putri bahwa kain emas serta suasa yang dipersembahkan Jakub itu yaitu kepunyaannya. Sesaat, ia menengadahkan ke-2 tangannya berdoa meminta pertolongan pada Tuhan Yang Mahakuasa. Demikian ia usai berdoa, mendadak datanglah seekor burung elang terbang berputar-putar diatas keramaian pesta sembari berbunyi.
“Klik.. klik… klik… kain emas serta suasa itu punya Banta Berensyah…!!! Klik… klik.. klik… kain emas serta suasa itu punya Banta Berensyah…!!! ” sekian bunyi elang itu berkali-kali.
Mendengar bunyi elang itu, seisi istana jadi gempar. Situasi pesta yang meriah itu saat itu juga jadi hening. Bunyi elang itu juga makin terang terdengar. Pada akhirnya, Raja serta Putri Selalu Mata mengerti bahwa Jakub yaitu orang serakah yang sudah merampas punya orang lain. Disamping itu Jakub yang tengah di pelaminan mulai gelisah serta berwajah pucat. Lantaran tak tahan lagi menahan rasa malu serta takut memperoleh hukuman dari Raja, Jakub melarikan diri lewat jendela. Tetapi, waktu bakal meloncat, kakinya tersandung di jendela hingga ia juga jatuh tersungkur ke tanah sampai tewas saat itu juga.
Sesudah momen itu, Banta Berensyah juga dinikahkan dengan Putri Selalu Mata. Pesta pernikahan mereka dilangsungkan sepanjang tujuh hari tujuh malam dengan sangatlah meriah. Tak berapakah lama sesudah mereka menikah, Raja yang terasa dianya telah tua menyerahkan jabatannya pada Banta Berensyah. Banta Berensyah juga mengajak ibunya untuk tinggal bersamanya di istana. Pada akhirnya, mereka juga hidup berbahagia berbarengan semua keluarga istana.
Untuk bertahan hidup, ibu serta anak itu menampi sekam di suatu kincir padi punya saudaranya yang bernama Jakub. Jakub yaitu saudagar kaya di dusun itu. Tetapi, ia populer sangatlah kikir, loba, serta tamak. Semua tindakannya senantiasa diperhitungkan untuk memperoleh keuntungan sendiri. Kadang-kadang ia cuma mengupahi ibu Banta Berensyah dengan segenggam atau dua genggam beras. Beras itu cuma cukup dikonsumsi satu hari oleh janda itu berbarengan anaknya.
Banta Berensyah
Disuatu hari, janda itu pergi sendirian ke tempat kincir padi tanpa ada ditemani Banta Berensyah, lantaran tengah sakit. Begitu kecewanya ia waktu tiba ditempat itu. Tidak seseorang juga yang menumbuk padi. Dengan demikian, pasti ia tidak bisa menampi sekam serta beroleh gaji beras. Dengan perasaan kecewa serta sedih, wanita paruh baya itu kembali pada gubuknya. Setibanya di gubuk, ia segera hampiri anak semata wayangnya yang tengah terbaring lemas. Muka anak itu terlihat pucat serta badannya menggigil, lantaran mulai sejak pagi perutnya belum terisi sedikit juga makanan.“Ibu…! Banta lapar, ” rengek Banta Berensyah.
Janda itu cuma terdiam sembari memandang lembut anaknya. Sesungguhnya, hati kecilnya teriris-iris mendengar rengekan putranya itu. Tetapi, ia tak dapat berbuat apa-apa, lantaran tak ada sekalipun makanan yang tersisa. Cuma ada satu gelas air putih yang ada di samping anaknya. Dengan perlahan-lahan, ia mencapai gelas itu serta mengulurkannya ke mulut Banta Berensyah. Seteguk untuk seteguk Banta Berensyah meminum air dari gelas itu juga sebagai pengganti makanan untuk menyingkirkan rasa laparnya. Sesudah meminum air itu, Banta terasa badannya sedikit memperoleh penambahan tenaga. Dengan penuh kasih sayang, ia memandang muka ibunya. Lantas, perlahan ia bangkit dari tidurnya seraya menyeka air mata bening yang keluar dari kelopak mata ibunya.
“Kenapa ibu menangis? ” bertanya Banta dengan nada pelan.
Mulut wanita paruh baya itu belum dapat berucap apa-apa. Dengan mata berkaca-kaca, ia cuma menghela nafas panjang. Banta juga memandang lebih dalam ke arah mata ibunya. Sesungguhnya, ia tahu argumen mengapa ibunya menangis.
“Bu! Banta tahu kenapa Ibu meneteskan air mata. Ibu menangis lantaran sedih tak beroleh gaji hari ini, ” ungkap Banta.
“Sudahlah, Bu! Banta tahu, Ibu telah berupaya keras mencari nafkah supaya kita dapat makan. Mungkin nasib baik belum berpihak pada kita, ” bujuknya.
Mendengar perkataan Banta Berensyah, wanita paruh baya itu tersentak. Ia tak pernah menduga pada awal mulanya bila anak semata wayangnya, yang sampai kini dia anggap masih tetap kecil itu, nyatanya pikirannya telah cukup dewasa. Dengan perasaan bahagia, ia merangkul badan putranyasambil meneteskan air mata. Perasaan bahagia itu seakan-akan sudah meniadakan semua kepedihan serta kelelahan batin yang sampai kini membebani hidupnya.
“Banta, Anakku! Ibu bangga sekali memiliki anak sepertimu. Ibu sangatlah sayang kepadamu, Anakku, ” ucap Ibu Banta dengan perasaan haru.
Kasih sayang serta perhatian ibunya itu betul-betul berikan semangat baru pada Banta Berensyah. Badannya yang lemas, mendadak kembali bertenaga. Ia lalu memandang muka ibunya yang terlihat pucat. Ia sadar bahwa sekarang ini ibunya pasti tengah lapar. Oleh karenanya, ia meminta izin pada ibunya akan pergi ke rumah pamannya, Jakub, untuk meminta beras. Tetapi, ibunya menghindarnya, lantaran ia sudah mengerti perangai saudaranya yang kikir itu.
“Jangan, Anakku! Tidakkah kamu paham.kamu mengerti sendiri bila pamanmu itu sangatlah perhitungan. Ia pasti akan tidak memberimu beras saat sebelum anda bekerja, ” tutur Ibu Banta.
“Banta tahu, Bu! Namun, apa kelirunya bila kita cobanya dahulu. Mungkin paman bakal terasa iba lihat situasi kita, ” kata Banta Berensyah.
Berulang-kali ibunya menghindarnya, tetapi Banta Berensyah terus bersikeras mau pergi ke rumah pamannya. Pada akhirnya, wanita yang sudah melahirkannya itu juga berikan izin. Jadi berangkatlah Banta Berensyah ke rumah pamannya. Waktu ia masuk ke pekarangan rumah, mendadak terdengar nada keras membentaknya. Nada itu tidak lain yaitu nada pamannya.
“Hai, anak orang miskin! Janganlah mengemis disini! ” hardik saudagar kaya itu.
“Paman, kasihanilah kami! Berikanlah kami segenggam beras, kami lapar! ” iba Banta Berensyah.
“Ah, persetan dengan keadaanmu itu. Kalian lapar atau mati sekalian juga, saya tak peduli! ” saudagar itu kembali menghardiknya dengan kalimat yang lebih kasar lagi.
Begitu kecewa serta sakitnya hati Banta Berensyah. Bukannya beras yang didapat dari pamannya, tetapi cacian serta makian. Ia juga pulang ke tempat tinggalnya dengan rasa sedih serta jengkel. Tidak merasa, air matanya menetes membasahi ke-2 pipinya.
Dalam perjalanan pulang, Banta Berensyah mendengar berita dari seseorang warga bahwa raja di suatu negeri yang letaknya tak berapakah jauh dari dusunnya bakal mengadakan sayembara. Raja negeri itu memiliki seseorang putri yang cantik jelita nan rupawan. Ia seperti bidadari yang mengumpulkan seluruhnya pesona lahir serta batin. Kulitnya sangatlah halus, putih, serta bersih. Karena sangat putihnya, kulit putri itu seakan-akan tembus pandang. Bila ia menelan makanan, seakan-akan makanan itu terlihat melalui ditenggorokannya. Tersebut penyebab ia dinamakan Putri Selalu Mata. Tiap-tiap pemuda yang lihat kecantikannya juga bakal tergelitik hasratnya untuk mempersuntingnya. Telah banyak pangeran yang datang meminangnya, tetapi belum satu juga pinangan yang di terima. Putri Selalu Mata bakal terima lamaran untuk siapapun yang mampu mencarikannya baju yang terbuat dari emas serta suasa.
Mendengar berita itu, Banta Berensyah muncul hasratnya untuk mengandu untung. Ia mengharapkan dengan menikah dengan sang Putri, hidupnya bakal jadi tambah baik. Siapa tahu ia bernasib baik, pikirnya. Ia juga bergegas pulang ke gubuknya untuk menjumpai ibunya. Setibanya di gubuk, ia segera duduk di dekat ibunya. Sembari mendekatkan berwajah yang sedikit pucat lantaran lapar, Banta Berensyah mengemukakan tentang hasratnya ikuti sayembara itu pada ibunya. Ia berupaya membujuk ibunya supaya hasratnya dikabulkan.
“Bu! Banta sangatlah sayang serta mau selalu hidup di samping ibu. Ibu sudah berupaya memberi yang paling baik untuk Banta. Saat ini Banta nyaris beranjak dewasa. Waktunya Banta mesti berusaha keras memberi yang paling baik untuk Ibu. Bila Ibu merestui kemauan tulus ini, izinkanlah Banta merantau untuk merubah nasib hidup kita! ” pinta Banta Berensyah.
Wanita paruh baya itu tidak dapat lagi menyembunyikan kekagumannya pada anak semata wayangnya itu. Ia juga memeluk erat Banta dengan penuh kasih sayang.
“Banta, Anakku! Anda yaitu anak yang berbakti pada orang-tua. Bila itu telah jadi tekadmu, Ibu mengizinkanmu meskipun dengan berat hati mesti berpisah denganmu, ” kata wanita paruh baya itu.
“Tapi, bagaimanakah anda dapat merantau ke negeri lain, Anakku? Apa bekalmu di perjalanan kelak? Jangankan untuk biaya kapal serta bekal, untuk makan sehari-hari juga kita tak mempunyai, ” imbuhnya.
“Ibu tak perlu pikirkan permasalahan itu. Cukup doa serta restu Ibu mengikuti Banta, ” kata Banta Berensyah.
Sesudah memperoleh restu dari ibunya, Banta Berensyah juga pergi ke suatu tempat yang sepi untuk memohon panduan pada Tuhan Yang Mahakuasa. Sesudah semalam jemu berdoa dengan penuh khusyuk, pada akhirnya ia juga memperoleh panduan supaya membawa sehelai daun talas serta suling kepunyaannya ke perantauan. Daun talas itu bakal ia pakai untuk mengarungi laut luas menuju ke tempat yang bakal ditujunya. Sedang suling itu bakal ia pakai untuk menghibur beberapa tukang tenun untuk membayar cost kain emas serta suasa yang dia butuhkan.
Esok harinya, selesai berpamitan pada ibunya, Banta Berensyah juga pergi ke rumah pamannya, Jakub. Ia punya maksud meminta tumpangan di kapal pamannya yang bakal berlayar ke negeri lain. Setibanya disana, ia kembali dibentak oleh pamannya.
“Ada apa lagi anda kemari, hai anak malas! ” seru sang Paman.
“Paman! Bolehkah Ananda turut berlayar hingga ke tengah laut? ” pinta Banta Berensyah.
Jakub tersentak mendengar keinginan aneh dari Banta Berensyah. Ia memikirkan bahwa kemanakannya itu bakal bunuh diri di dalam laut. Dengan suka hati, ia juga mengizinkannya. Ia terasa hidupnya bakal aman bila anak itu sudah mati, lantaran akan tidak lagi datang meminta-minta kepadanya. Pada akhirnya, Banta Berensyah juga turut berlayar berbarengan pamannya. Demikian kapal yang mereka tumpangi tiba di tengah-tengah samudra, Banta meminta pada pamannya supaya menurunkannya dari kapal.
“Paman! Perjalanan Nanda berbarengan Paman cukup hingga disini. Tolong turunkan Nanda dari kapal ini! ” pinta Banta Betensyah.
Saudagar kaya itu juga selekasnya memerintahkan anak buahnya untuk turunkan Banta ke laut. Tetapi saat sebelum di turunkan, Banta keluarkan lipatan daun talas yang diselempitkan dibalik bajunya. Lalu ia buka lipatan daun talas itu seraya duduk bersila di atasnya. Lihat tingkah laku Banta itu, Jakub menertawainya.
“Ha… ha… ha…! Basic anak bodoh! ” hardik saudagar kaya itu.
“Pengawal! Turunkan anak ini dari kapal! Biarlah saja dia mati dikonsumsi ikan besar! ” serunya.
Tetapi, begitu terkejutnya saudagar kaya itu serta beberapa anak buahnya sesudah turunkan Banta Berensyah ke laut. Nyatanya, sehelai daun talas itu dapat menahan badan Banta Berensyah diatas air. Dengan pertolongan angin, daun talas itu membawa Banta menuju ke arah barat, sedang pamannya berlayar menuju ke arah utara.
Sesudah berhari-hari terombang-ambing diatas daun talas dihempas gelombang samudra, Banta Berensyah tiba di suatu pulau. Pertama kalinya menginjakkan kaki di pulau itu, ia terkagum-kagum melihat panorama yang sangatlah indah serta menakjubkan. Nyaris di tiap-tiap halaman rumah masyarakat terbentang kain tenunan dengan beragam motif serta warna tengah dijemur. Rupanya, nyaris semua masyarakat di pulau itu yaitu tukang tenun.
Banta juga singgah ke salah satu rumah masyarakat untuk bertanya kain emas serta suasa yang tengah dicarinya. Tetapi, yang tinggal didalam rumah itu tak mempunyai type kain itu. Ia juga geser ke rumah tukang tenun di sampingnya, serta nyatanya si yang memiliki rumah itu juga tak memilikinya. Berhari-hari ia berkeliling kampung serta masuk rumah masyarakat satu persatu, tetapi kain yang dicarinya belum juga ia dapatkan. Tinggal satu rumah lagi yang belum ia masuki, yakni rumah kepala kampung yang juga tukang tenun.
“Tok… Tok… Tok.. ! Permisi, Tuan! ” seru Banta Berensyah sesudah mengetuk pintu rumah kepala kampung itu.
Sebagian waktu lalu, seseorang laki-laki paruh baya buka pintu serta mempersilahkannya masuk ke rumah.
“Ada yang dapat kubantu, Anak Muda? ” bertanya kampung itu ajukan pertanyaan.
Sesudah mengenalkan diri serta menceritakan asal-usulnya, Banta juga mengemukakan maksud kehadirannya.
“Maaf, Tuan! Kehadiran saya kemari mau mencari kain tenun yang terbuat dari emas serta suasa. Bila Tuan memilikinya, bolehkah saya membelinya? ” pinta Banta Berensyah.
Kepala kampung itu tersentak kaget mendengar keinginan Banta, terlebih sesudah lihat tampilan Banta yang sangatlah simpel itu.
“Hai, Banta! Dengan apa anda dapat membayar kain emas serta suasa itu? Apakah anda memiliki duit yang cukup untuk membayarnya? ”
“Maaf, Tuan! Saya memanglah tak dapat membayarnya dengan duit. Namun, bila Tuan sudi, bolehkah saya membayarnya dengan lagu? ” pinta Banta Berensyah seraya keluarkan sulingnya.
Lihat keteguhan hati Banta Berensyah akan mempunyai kain tenun itu, kepala kampung itu kembali ajukan pertanyaan kepadanya.
“Banta! Bila bisa saya ketahui, mengapa anda sangatlah inginkan kain itu? ”
Banta juga menceritakan argumennya hingga ia mesti berjuang untuk memperoleh kain itu. Lantaran iba mendengar cerita Banta, pada akhirnya kepala kampung itu penuhi permintaannya. Dengan ketrampilannya, Banta juga memainkan sulingnya dengan lagu-lagu yang merdu. Kepala kampung itu betul-betul terbuai nikmati senandung lagu yang dibawakan Banta. Sesudah senang menikmatinya, ia juga memberi kain emas serta suasa kepunyaannya pada Banta.
“Kamu sangatlah mahir bermain suling, Banta! Anda layak memperoleh kain emas serta suasa ini, ” tutur kepala kampung itu.
“Terima kasih, Tuan! Banta sangatlah berhutang budi pada Tuan. Banta bakal senantiasa mengingat seluruhnya kebaikan hati Tuan, ” kata Banta.
Sesudah memperoleh kain emas serta suasa itu, Banta juga meninggalkan pulau itu. Ia berlayar mengarungi lautan luas menuju ke kampung halamannya dengan memakai daun talas saktinya. Hati anak muda itu sangatlah senang. Ia tak sabar lagi mau mengemukakan berita senang itu pada ibunya serta selekasnya menghadirkan kain emas serta suasa itu pada Putri Selalu Mata.
Tetapi, nasib malang menerpa Banta. Saat hingga di dalam laut, ia bersua serta turut dengan kapal Jakub yang barusan pulang berlayar dari negeri lain. Waktu ia ada diatas kapal itu, kain emas serta suasa yang diperolehnya dengan sulit payah dirampas oleh Jakub. Sesudah kainnya dirampas, ia dibuang ke laut. Dengan perasaan bangga, Jakub membawa pulang kain itu untuk mempersunting Putri Selalu Mata.
Disamping itu, Banta yang tenggelam terbawa arus gelombang laut terdampar di suatu pantai serta diketemukan oleh sepasang suami-istri yang tengah mencari kerang. Sepasang suami-istri itu juga membawanya pulang serta mengangkatnya juga sebagai anak. Sesudah sebagian lama tinggal berbarengan ke-2 orangtua angkatnya itu, Banta juga memohon diri untuk kembali pada kampung halamannya menjumpai ibunya dengan memakai daun talas saktinya. Setiba di gubuknya, ia juga disambut oleh ibunya dengan perasaan suka ria. Lalu, Banta juga menceritakan seluruhnya peristiwa yang sudah dirasakannya.
“Maafkan Banta, Bu! Sesungguhnya Banta sudah sukses memperoleh kain emas serta suasa itu, namun Paman Jakub merampasnya, ” Banta bercerita pada ibunya dengan perasaan kecewa.
“Sudahlah, Anakku! Ibu tahu perasaanmu. Mungkin belum nasibmu mempersunting putri raja, ” tutur Ibunya.
“Tapi, Bu! Banta mesti memperoleh kembali kain emas serta suasa itu dari Paman. Kain itu punya Banta, ” kata Banta dengan kemauan keras.
“Semuanya telah terlambat, Anakku! ” sahut ibunya.
“Apa maksud Ibu berkata demikian? ” bertanya Banta penasaran.
“Ketahuilah, Anakku! Pamanmu memanglah sungguh mujur. Sekarang ini, pesta perkawinannya dengan putri raja tengah dilangsungkan di istana, ” ungkap ibunya.
Tanpa ada memikirkan panjang, Banta selekasnya berpamitan pada ibunya lantas bergegas menuju ke tempat pesta itu dikerjakan. Tetapi, setibanya di kerumunan pesta yang berjalan meriah itu, Banta tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tak memiliki bukti untuk tunjukkan pada raja serta sang Putri bahwa kain emas serta suasa yang dipersembahkan Jakub itu yaitu kepunyaannya. Sesaat, ia menengadahkan ke-2 tangannya berdoa meminta pertolongan pada Tuhan Yang Mahakuasa. Demikian ia usai berdoa, mendadak datanglah seekor burung elang terbang berputar-putar diatas keramaian pesta sembari berbunyi.
“Klik.. klik… klik… kain emas serta suasa itu punya Banta Berensyah…!!! Klik… klik.. klik… kain emas serta suasa itu punya Banta Berensyah…!!! ” sekian bunyi elang itu berkali-kali.
Mendengar bunyi elang itu, seisi istana jadi gempar. Situasi pesta yang meriah itu saat itu juga jadi hening. Bunyi elang itu juga makin terang terdengar. Pada akhirnya, Raja serta Putri Selalu Mata mengerti bahwa Jakub yaitu orang serakah yang sudah merampas punya orang lain. Disamping itu Jakub yang tengah di pelaminan mulai gelisah serta berwajah pucat. Lantaran tak tahan lagi menahan rasa malu serta takut memperoleh hukuman dari Raja, Jakub melarikan diri lewat jendela. Tetapi, waktu bakal meloncat, kakinya tersandung di jendela hingga ia juga jatuh tersungkur ke tanah sampai tewas saat itu juga.
Sesudah momen itu, Banta Berensyah juga dinikahkan dengan Putri Selalu Mata. Pesta pernikahan mereka dilangsungkan sepanjang tujuh hari tujuh malam dengan sangatlah meriah. Tak berapakah lama sesudah mereka menikah, Raja yang terasa dianya telah tua menyerahkan jabatannya pada Banta Berensyah. Banta Berensyah juga mengajak ibunya untuk tinggal bersamanya di istana. Pada akhirnya, mereka juga hidup berbahagia berbarengan semua keluarga istana.
Kamu baru saja membaca tentang Banta Berensyah Cerita Rakyat Aceh